Selamat Datang di Blog Deka Riti

Kamis, 09 Januari 2014

Poligami Bung Karno


Salah satu hal yang diingat dari Soekarno hingga sekarang adalah reputasinya sebagai pecinta wanita. Betapa tidak, sepanjang hayatnya yang mencapai 69 tahun, dalam banyak catatan referensi (a.l Istri-Istri Soekarno - M Yuanda Zara) , Soekarno pernah menikah resmi hingga 9 kali. Saya kira rekor ini tak akan terpecahkan oleh presiden Indonesia selanjutnya, sampai kapanpun….hehehe.

Sebetulnya, bila menengok sikap Soekarno di masa awal pergerakan (th 1929), polah poligami Soekarno pada zaman puncak karirnya patut dikritisi. Saat itu, ketika bersua H Agus Salim di Bandung, Soekarno muda (Soekarno sudah menikahi Inggit Ganarsih setelah sebelumnya menceraikan Oetari Tjokroaminoto) mengkritik norma Islam yang memperbolehkan adanya poligami. Agus Salim yang memang agamis, membelanya setengah mati lengkap dengan makna aturan tersebut. Sekian tahun kemudian, Agus Salim tetap dengan satu istri, dan Soekarno membuat rekor itu tadi.

Saat Soekarno dengan mindik-mindik minta izin pada Inggit Ganarsih untuk menikahi anak asuh mereka, Fatmawati, mungkin orang banyak maklum. Pasalnya, sudah belasan tahun sejak menikahi wanita yang usianya 13 tahun lebih tua darinya itu, Soekarno tak juga mendapatkan anak. Namun saat ia menikahi Hartini (tahun 1953), sontak kaum feminis saat itu heboh. Mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat sang pemimpin berubah pikiran jadi pure poligami?

Mendadak jadi penganut tarekat? Rasanya jelas tidak. Atau gen megaloman Soekarno tengah bermutasi? Kedengarannya berlebihan. Penjelasan yang paling mungkin justru datang dari celetukan Soekarno ketika melihat hidup Soedjatmoko, diplomat dari PSI yang masih melajang walau usia cukup untuk menikah. “Koko, als je trouwt, neem iemand die minder intellectueel is” - ” Koko, kalau kamu menikah nanti, ambilah istri yang kurang intelektualnya.”
Kalimat terakhir masih ada lanjutannya, kepada Koko, Soekarno mendongeng perlunya sosok istri yang penurut, tidak cerewet, tidak suka membantah dan full memberi layanan pada suami. Adakah Fatmawati gagal memenuhi kriteria itu? Bisa jadi. Fatmawati lahir dari keluarga sumatera yang lebih egaliter, ia pun berpendidikan Taman Siswa. Dan catatan, saat Soekarno minta izin menikahi Hartini, Fatmawati sudah cukup disibukkan oleh 5 anak yang dilahirkannya.

Hartini adalah kebalikan Fatmawati. Kriteria istri yang disebutkan Soekarno pada Koko ada pada Hartini, tak peduli ia adalah janda dengan 5 anak saat dinikahi Soekarno. Hartini yang jelita selalu menyambut mesra setiap Srihana - demikian Soekarno menyebut dirinya khusus kepada Hartini - menyambanginya di Istana Bogor, ia memasak sendiri makanan Soekarno, memijitinya di kala lelah, dan tentunya pelayanan room service yang memuaskan.

Hartini juga tak pernah protes, walau dalam 10 tahun pernikahan tak pernah diajak ke Istana Merdeka. Sekalinya ia terpaksa kesana karena dibakar cemburu, mendengar rumor Soekarno sudah menikahi Haryati, seorang gadis yang banyak dideskripsikan sebagai “suatu cetakan lebih muda dari Hartini.

Dan selanjutnya, waktu telah menjawabnya. Soekarno melaju terus mengumpulkan para hinul-hinul markindul - demikian Guntur Sukarnoputra pernah menyebut istri-istri anyar ayahnya. Pada batas ini, rasanya tak diperlukan lagi alasan pembenar bagi Soekarno untuk berpoligami, karena toh Soekarno sudah mengetrapkan hukum pasar. Yang fresh dan lebih menarik, tentu lebih gampang terserap (pemimpin) publik.


 from : http://anusapati.blogdetik.com/2008/04/14/poligami-soekarno/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar